Saturday, July 18, 2009

Hipnoterapi vs “Hipnoterapi”

Seorang kawan dari Malang kemarin main ke rumah saya dan minta bantuan untuk mengatasi kesulitan hidupnya. Kawan saya ini telah berusaha belajar ke sana dan ke mari, mengikut banyak pelatihan termasuk mengikuti kelas hipnoterapi di Jakarta, telah meminta bantuan psikolog, psikiater, dan hipnoterapis, namun tetap masalahnya tidak bisa tuntas tertangani. Saya tidak akan membahas mengenai apa yang dilakukan oleh psikolog atau psikiater karena ini di luar disiplin ilmu yang saya pelajari dan dalami. Yang saya bahas adalah mengenai hipnoterapi dan hipnoterapis. Kawan saya ini telah meminta bantuan hipnoterapis dan telah menjalani tujuh sesi terapi di klinik hipnoterapi. Hasilnya ? Sama sekali tidak ada perubahan.

Waktu saya mendengar bahwa ia sudah diterapi tujuh sesi, tiap sesi sekitar 2 jam, dan masih belum ada hasilnya, saya jadi bingung. Lha, bagaimana mungkin sudah tujuh sesi masih belum ada perubahan sama sekali?

Setiap sesi terapi adalah proses yang unik. Dinamikanya selalu berbeda. Keberhasilan suatu terapi, dalam hal ini saya khusus membahas hipnoterapi ya, bergantung pada dua faktor yaitu klien dan terapis.

Semula saya berpikir kawan saya ini yang tidak siap untuk berubah. Istilah teknisnya masih ada resistensi. Mengapa saya berpikir demikian? Karena menurut kawan saya hipnoterapis yang menerapi dirinya bergelar C.Ht., atau certified hypnotherapist atau hipnoterapis yang bersertifikasi. Nah, kalau sudah C.Ht., asumsi saya si terapis pasti punya kemampuan yang mumpuni.

Hal ini diperkuat lagi dengan penyataan kawan saya bahwa sertifikasi terapis ini dikeluarkan oleh lembaga pelatihan di Indonesia yang berafiliasi dengan lembaga terkenal di Amerika.

Wah, saya menjadi semakin yakin bahwa masalahnya ada pada kawan saya. Namun dari apa yang diceritakan kawan saya, saya menilai bahwa ia benar-benar ingin berubah. Dan ia dengan sangat serius menjalani proses terapi. Bisa dibilang tanpa ada resistensi sama sekali.

Lalu, mengapa kawan saya ini nggak bisa sembuh setelah melalui tujuh sesi terapi?

Karena penasaran saya menanyakan bagaimana proses terapi yang dilakukan oleh di hipnoterapis. Dari apa yang diceritakan kawan saya ini akhirnya saya sampai pada satu kesimpulan. Masalahnya justru terletak pada si terapis. Bukan pada kawan saya.

Apa masalahnya?

Ternyata teknik yang digunakan tidak sesuai. Hipnoterapis ini menggunakan satu teknik saja, selama tujuh sesi terapi, untuk menerapi kawan saya. Dengan kata lain, hipnoterapis ini “memaksakan” suatu teknik tanpa melihat hasil atau efek dari teknik tersebut. Istilahnya therapist centered bukan client centered.

Lalu, salahnya di mana?

Secara prinsip yang dilakukan terapis ini tidak salah. Yang kurang tepat adalah ia tidak menyesuaikan tekniknya dengan kondisi klien.

Secara teknis, dalam hipnoterapi, ada empat teknik dasar terapi:

- posthypnotic suggestion and imagery atau sugesti pascahipnosis dan imajinasi

- discovering the root cause atau menemukan akar masalah

- release atau melepas emosi negatif yang melekat pada pengalaman traumatik

Dari keempat teknik dasar ini yang digunakan oleh si hipnoterapis adalah teknik posthypnotic suggestion.

Bagaimana ia melakukannya?

Klien diminta melakukan relaksasi dan setelah dirasa cukup rileks terapis akan menyugesti klien. Sugestinya berisi pesan-pesan untuk pikiran bawah sadar yang bila pesan ini diterima dan dilaksanakan oleh pikiran bawah sadar maka klien akan mengalami perubahan positif.

Mengapa teknik ini tidak efektif terhadap kawan saya?

Ada beberapa kemungkinan. Pertama, level kedalaman trance yang tidak sesuai. Klien tidak bisa masuk ke kedalaman trance yang diinginkan karena hipnoterapis tidak memperhatikan tipe sugestibilitas klien. Kedua, teknik deepening tidak tepat. Ketiga, sugesti yang diberikan tidak melihat kepribadian klien, apakah bisa diberikan direct suggestion yang bersifat authoritative (paternal) atau passive (maternal/indirect). Keempat, kasus yang dialami klien masuk kategori “berat”.

Jika dengan teknik posthypnotic suggestion and imagery tidak berhasil maka seharusnya digunakan teknik berikutnya, discovering the root cause atau menemukan akar masalah yang dilanjutkan dengan teknik release dan re-learning.

Mengapa perlu menemukan akar masalah?

Masalah atau hambatan hidup yang dialami oleh klien, dan ini tampak dalam perilakunya, sebenarnya hanya merupakan simtom. Untuk membereskan simtom maka terapis harus bisa menemukan akar masalah. Nah, untuk bisa menemukan akar masalah harus digunakan teknik terapi yang lebih advanced. Nggak bisa sekadar menggunakan sugesti.

Simtom dapat diibaratkan dengan asap yang tampak keluar dari tumpukan sekam. Bagaimana caranya agar asap bisa hilang permanen? Ya sudah tentu dengan mencari, menemukan, dan memadamkan sumber api yang ada di dalam sekam. Betul nggak?

Seringkali yang terjadi adalah symptom removal. Setelah mendapat sugesti klien “merasa” masalahnya telah selesai. Namun selang beberapa saat masalah yang sama akan muncul lagi atau relapse. Hal ini mengindikasikan bahwa akar masalah yang sesungguhnya belum tertangani.

Yang lebih sulit lagi adalah bila sampai terjadi double symptom. Artinya, simtom yang tampak ternyata merupakan simtom dari suatu simtom dari suatu akar masalah. Nah, kalau sudah begini kondisinya maka teknik sugesti dijamin tidak akan bisa efektif. Saya menyebutnya dengan teknik band-aid therapy karena cara kerjanya seperti kalau kita menutup luka dengan plester (band-aid) tanpa membersihkan bagian dalam luka.

Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana cara untuk bisa menemukan akar masalah?

Ini pertanyaan yang membutuhkan jawaban teknis. Caranya bisa macam-macam. Secara prinsip uncovering techniques terbagi menjadi dua kelompok besar. Pertama yang disebut dengan minor uncovering techniques dan major uncovering techniques.

Untuk lebih jelasnya, he… he…nggak bermaksud promosi ya, Anda bisa membaca buku saya Hypnotherapy: The Art of Subconscious Restructuring. Bisa mengunakan teknik ideomotor response, regression, desensitization, gestalt therapy, relaxation, mimpi, dan masih banyak lagi teknik lainnya yang bisa digunakan sesuai kebutuhan.

Pembaca, selain kasus kawan saya ini, saya juga telah beberapa kali menemukan kasus berbeda namun dengan teknik terapi yang sama, yang dilakukan oleh terapis yang berbeda. Saya akhirnya sampai pada satu kesimpulan.

Apa itu?

Banyak orang yang mengaku hipnoterapis ternyata hanya menguasai teknik terapi posthypnotic suggestion and imagery. Teknik ini yang digunakan oleh stage hypnotist dalam melakukan pertunjukkan. Mungkin mereka, para hipnoterapis ini, merasa bahwa kalau dengan sugesti saja bisa membuat subjek hipnosis melakukan apa yang disugestikan, misalnya nggak bisa jalan, lupa nama, kehilangan suatu angka, bahkan sampai mengalami halusinasi, maka prinsip yang sama bisa diterapkan untuk menerapi klien yang bermasalah.

Terapi dengan sugesti bukannya tidak ampuh. Saya tidak mengatakan demikian. Teknik ini tetap sangat ampuh namun harus memperhatikan kondisi klien. Kasus ringan misalnya berhenti merokok, kurang percaya diri, kebiasaan menggigit jari/nail biting, bruxism, meningkatkan prestasi akademik, atau kecemasan ringan bisa sangat terbantu dengan menggunakan sugesti.

Namun kalau untuk kasus berat seperti trauma akibat pelecehan seksual, konflik diri, perasaan dendam, kebencian yang hebat pada seseorang, penolakan diri akibat kehamilan yang tidak diinginkan, proses pendidikan yang salah, atau pengalaman traumatik lainnya yang berisi muatan emosi negatif yang tinggi, maka harus digunakan teknik terapi yang lebih advanced.

Satu hal lagi yang cukup memprihatinkan adalah banyak orang yang hanya dengan membaca buku hipnosis atau hipnoterapi, atau mengikuti kursus hipnoterapi singkat, singkat maksudnya hanya dalam beberapa hari, setelah itu berani praktik, terima klien, dan yang lebih hebat lagi berani buka klinik hipnoterapi.

Pembaca, saran saya, anda perlu hati-hati dan selektif untuk memilih hipnoterapis. Jangan mudah percaya walaupun si hipnoterapis punya embel-embel gelar C.Ht. Gelar bukan jaminan. Apalagi kalau orang yang praktik hipnoterapi tapi nggak punya sertifikasi. Wah, ini bisa lebih gawat.

Mengapa saya perlu menekankan hal ini? Karena yang diotak-atik adalah pikiran. Kalau salah penanganan maka bisa sangat berbahaya.

Sebagai penutup, saya teringat saat diminta fakultas psikologi dari salah satu universitas terkenal di salah satu kota besar untuk menjadi penguji tamu di ujian skripsi. Kebetulan topik yang dipilih mahasiswa adalah aplikasi hipnoterapi untuk menghentikan kebiasaan merokok, mengatasi exam anxiety, dan penerimaan terhadap body image.

Karena mahasiswa tidak bisa melakukan terapinya maka mereka meminta bantuan seorang hipnoterapi, dan sudah tentu yang bersertifikasi, yang dikenalkan oleh dosen pembimbingnya.

Hasil penelitian ketiga mahasiswa ini terhadap efektivitas hipnoterapi dalam mengatasi masalah subjek penelitian ternyata “tidak signifikan”. Saya jadi bingung. Lha, kok bisa nggak signifikan?

Ternyata setelah saya baca skrip terapi yang juga disertakan dalam lampiran skripsi akhirnya saya tahu mengapa kok hasilnya nggak signifikan.

Lha, bagaimana mau signifikan kalau ternyata si “hipnoterapis” hanya menggunakan teknik sugesti. Selain itu induksi yang dilakukan juga hanya satu teknik yaitu progressive relaxation tanpa memperhatikan tipe sugestibilitas klien. Pengujian kedalaman trance juga dilakukan dengan pendekatan stage hypnosis.

Bisa anda bayangkan, setiap sesi terapi dilakukan sekitar antara satu setengah hingga dua jam. Satu jam untuk melakukan induksi dan satu jam lagi untuk mensugesti. Lebih hebat lagi, hasil signifikan ini didapat setelah subjek penelitian menjalani tiga sampai empat sesi terapi yang sama.

Yang lebih mengagetkan saya adalah selang beberapa bulan kemudian, dosen pembimbing ketiga mahasiswa ini, dengan menggunakan kesimpulan dari penelitian mahasiswanya, memutuskan untuk memasukkan hasil penelitian ini ke jurnal psikologi. Dosen ini dengan mantapnya menyimpulkan, “Hipnoterapi tidaklah seefektif yang digembar-gemborkan.”

Untungnya hasil penelitian, yang sebenarnya kurang tepat ini, setelah mendapat banyak saran, kritik, dan sanggahan, akhirnya tidak jadi dimasukkan ke jurnal. Salah satunya adalah metode penelitian yang digunakan tidak tepat dan subjek penelitiannya terlalu sedikit.

Nah, pembaca, Anda perlu hati-hati. Pastikan Anda mendapatkan hipnoterapi dari seorang hipnoterapis dan bukan “hipnoterapis”.

0 komentar: